Minggu, 05 Juli 2009

Mbah Surip, dari Ladang Minyak ke Ranah Seni Lagu Tak Gendong tentang Belajar Salah


JAWA POS 21 JUNI 2009

Lirik lagu Tak Gendong milik Mbah Surip yang saat ini digemari memang terkesan sederhana. Tapi, makna yang dimaksudkan oleh penyanyi bergaya reggae, sang pembuat lagu, itu tidak mudah untuk dipahami. Seperti apa maksudnya? Simak juga kisah hidup pak tua sekaligus master di bidang filsafat tersebut.

SAAT memulai wawancara dengan Jawa Pos, Urip Ariyanto -nama lengkap Mbah Surip-menikmati santap siang di warung nasi kawasan studio penta SCTV Jumat lalu (19/6). Menunya sayur daun singkong, tahu, dan perkedel kentang. Minumnya teh manis panas dan segelas kopi.

Selera makannya kok sederhana? "Iya, yang saya suka. Perkedel kan enak. Tahu juga enak, tapi sedikit saja, jangan banyak-banyak. Sedangkan orang lain kan banyak. Saya belajar sedikit saja. Tapi, saya nggak mengatakan (menu, Red) itu sederhana, melainkan cukup," jawab pria kelahiran Mojokerto, 5 Mei 1949, tersebut.

Resep sehat ala Mbah Surip memang sederhana. "Jangan makan yang nggak kamu sukai dan bergaul dengan orang yang kamu sukai. Yang kamu suka itulah resep sehat. Bersiul, bernyanyi, belajar mengaji," ujarnya lantas tertawa.

Dia lalu menjelaskan lagu Tak Gendong yang saat ini dinyanyikan oleh banyak orang. Lagu itu berisi pembelajaran. Yakni, payung tempat manusia belajar salah menjadi benar. "Biasanya, yang dipelajari adalah sesuatu yang benar. Kalau itu, salah menjadi benar."



Tafsir sederhananya bagaimana? "Belajar salah itu, yang digendong ya siapa saja, entah baik, galak, nakal, atau jahat. Seperti bus, nggak peduli (penumpangnya, Red), entah itu copet, gelandangan, pekerja, ya siapa saja. Sebab, menggendong itu belajar salah," jelasnya.

Lagu tersebut tercipta relatif lama, pada 1983. Waktu itu dia bekerja di Amerika Serikat. Dia baru masuk rekaman untuk album ketujuh kali ini. "Mungkin dulu bikin begitu, sekarang direnungkan lagi. Dibuat waktu ngebor minyak, tepatnya di California," ungkap ayah empat anak sekaligus kakek empat cucu itu.

Profesi Mbah Surip sebelumnya memang pekerja di bidang pengeboran minyak, tambang berlian, emas, dan lain. Sekitar sepuluh tahun dia menggeluti kerja lapangan tersebut. Tempat kerjanya bukan hanya Indonesia, tapi juga luar negeri, antara lain Kanada, Texas, dan Yordania. "Saya dulu engineer. Pernah ngebor minyak, pernah kerja di bidang kelistrikan, bangunan, borong-borongan," ucap sarjana kimia Universitas Sunan Giri, Surabaya, itu lantas tertawa.

Lalu, profesi paling pertama yang dicoba apa? "Nah, itu, saya bingung lagi. Wong, saya bisa juga cari ketela, ubi, buat bayar sekolah. Sayur basi saya kumpulkan untuk biaya sekolah. Saya senang sekolah. Ada S-1, MBA, akhirnya ya jadi mbah. Saya punya ijazah SMP, ST, SMEA, STM, Drs, sama insinyur dan MBA. Termasuk, saya mempelajari geologi," tuturnya. Dia enggan menyebut nama kampus tempatnya kuliah S-2 tersebut.

Tapi, belakangan Mbah Surip sibuk cari ijazahnya lagi. Dia lupa menyimpannya. Padahal, dia hendak mengurus persyaratan berangkat ke Inggris. Kerja apa lagi? "Ya ke Inggris saja pokoknya," ucapnya penuh rahasia.

Di Jakarta, Mbah Surip memang punya banyak "rumah". Bisa studio SCTV, kampung artis tempat syuting sinetron di kawasan Jakarta Timur, warung apresiasi Bulungan, komunitas teater, dan banyak lagi. Bagaimana kalau orang mau kirim surat? "Ke studio SCTV, bisa. Ke mana saja, bisa," terangnya.

Sejak 1998 Mbah Surip menjadi seniman, meninggalkan pekerjaan lama tersebut. Kenapa ingin menyanyi? "Jangan ditanya begitu. Semuanya enak di dunia ini, asal ada pekerjaan. Kemarin ya kemarin. Sekarang, mungkin besok, ya kita cari lagi," papar dia.

Sejak saat itu pula, dia berdandan ala reggae. Tapi, dia bukan penggemar Bob Marley. Mbah Surip justru menyatakan menggemari Bing Slamet (almarhum). "Itu bukan Bob Marley. Itu negara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mbah Surip, dari Ladang Minyak ke Ranah Seni Lagu Tak Gendong tentang Belajar Salah


JAWA POS 21 JUNI 2009

Lirik lagu Tak Gendong milik Mbah Surip yang saat ini digemari memang terkesan sederhana. Tapi, makna yang dimaksudkan oleh penyanyi bergaya reggae, sang pembuat lagu, itu tidak mudah untuk dipahami. Seperti apa maksudnya? Simak juga kisah hidup pak tua sekaligus master di bidang filsafat tersebut.

SAAT memulai wawancara dengan Jawa Pos, Urip Ariyanto -nama lengkap Mbah Surip-menikmati santap siang di warung nasi kawasan studio penta SCTV Jumat lalu (19/6). Menunya sayur daun singkong, tahu, dan perkedel kentang. Minumnya teh manis panas dan segelas kopi.

Selera makannya kok sederhana? "Iya, yang saya suka. Perkedel kan enak. Tahu juga enak, tapi sedikit saja, jangan banyak-banyak. Sedangkan orang lain kan banyak. Saya belajar sedikit saja. Tapi, saya nggak mengatakan (menu, Red) itu sederhana, melainkan cukup," jawab pria kelahiran Mojokerto, 5 Mei 1949, tersebut.

Resep sehat ala Mbah Surip memang sederhana. "Jangan makan yang nggak kamu sukai dan bergaul dengan orang yang kamu sukai. Yang kamu suka itulah resep sehat. Bersiul, bernyanyi, belajar mengaji," ujarnya lantas tertawa.

Dia lalu menjelaskan lagu Tak Gendong yang saat ini dinyanyikan oleh banyak orang. Lagu itu berisi pembelajaran. Yakni, payung tempat manusia belajar salah menjadi benar. "Biasanya, yang dipelajari adalah sesuatu yang benar. Kalau itu, salah menjadi benar."



Tafsir sederhananya bagaimana? "Belajar salah itu, yang digendong ya siapa saja, entah baik, galak, nakal, atau jahat. Seperti bus, nggak peduli (penumpangnya, Red), entah itu copet, gelandangan, pekerja, ya siapa saja. Sebab, menggendong itu belajar salah," jelasnya.

Lagu tersebut tercipta relatif lama, pada 1983. Waktu itu dia bekerja di Amerika Serikat. Dia baru masuk rekaman untuk album ketujuh kali ini. "Mungkin dulu bikin begitu, sekarang direnungkan lagi. Dibuat waktu ngebor minyak, tepatnya di California," ungkap ayah empat anak sekaligus kakek empat cucu itu.

Profesi Mbah Surip sebelumnya memang pekerja di bidang pengeboran minyak, tambang berlian, emas, dan lain. Sekitar sepuluh tahun dia menggeluti kerja lapangan tersebut. Tempat kerjanya bukan hanya Indonesia, tapi juga luar negeri, antara lain Kanada, Texas, dan Yordania. "Saya dulu engineer. Pernah ngebor minyak, pernah kerja di bidang kelistrikan, bangunan, borong-borongan," ucap sarjana kimia Universitas Sunan Giri, Surabaya, itu lantas tertawa.

Lalu, profesi paling pertama yang dicoba apa? "Nah, itu, saya bingung lagi. Wong, saya bisa juga cari ketela, ubi, buat bayar sekolah. Sayur basi saya kumpulkan untuk biaya sekolah. Saya senang sekolah. Ada S-1, MBA, akhirnya ya jadi mbah. Saya punya ijazah SMP, ST, SMEA, STM, Drs, sama insinyur dan MBA. Termasuk, saya mempelajari geologi," tuturnya. Dia enggan menyebut nama kampus tempatnya kuliah S-2 tersebut.

Tapi, belakangan Mbah Surip sibuk cari ijazahnya lagi. Dia lupa menyimpannya. Padahal, dia hendak mengurus persyaratan berangkat ke Inggris. Kerja apa lagi? "Ya ke Inggris saja pokoknya," ucapnya penuh rahasia.

Di Jakarta, Mbah Surip memang punya banyak "rumah". Bisa studio SCTV, kampung artis tempat syuting sinetron di kawasan Jakarta Timur, warung apresiasi Bulungan, komunitas teater, dan banyak lagi. Bagaimana kalau orang mau kirim surat? "Ke studio SCTV, bisa. Ke mana saja, bisa," terangnya.

Sejak 1998 Mbah Surip menjadi seniman, meninggalkan pekerjaan lama tersebut. Kenapa ingin menyanyi? "Jangan ditanya begitu. Semuanya enak di dunia ini, asal ada pekerjaan. Kemarin ya kemarin. Sekarang, mungkin besok, ya kita cari lagi," papar dia.

Sejak saat itu pula, dia berdandan ala reggae. Tapi, dia bukan penggemar Bob Marley. Mbah Surip justru menyatakan menggemari Bing Slamet (almarhum). "Itu bukan Bob Marley. Itu negara